Sultan Iskandar Muda (
Aceh,
1593 atau
1590 Asal usul Dari pihak leluhur ibu, Iskandar Muda adalah keturunan dari Raja Darul-Kamal, dan dari pihak leluhur ayah merupakan keturunan dari keluarga Raja Makota Alam. Darul-Kamal dan Makota Alam dikatakan dahulunya merupakan dua tempat pemukiman bertetangga (yang terpisah oleh sungai) dan yang gabungannya merupakan asal mula Aceh Darussalam. Iskandar Muda seorang diri mewakili kedua cabang itu, yang berhak sepenuhnya menuntut takhta.
Pernikahan Sri Sultan Iskandar Muda kemudian menikah dengan seorang Putri dari
Kesultanan Pahang. Putri ini dikenal dengan nama
Putroe Phang. Konon, karena terlalu cintanya sang Sultan dengan istrinya, Sultan memerintahkan pembangunan Gunongan di tengah Medan Khayali (Taman Istana) sebagai tanda cintanya. Kabarnya, sang puteri selalu sedih karena memendam rindu yang amat sangat terhadap kampung halamannya yang berbukit-bukit. Oleh karena itu Sultan membangun
Gunongan untuk mengubati rindu sang puteri. Hingga saat ini Gunongan masih dapat disaksikan dan dikunjungi.
Masa kekuasaan Masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda yang dimulai pada tahun
1607 sampai
1636, merupakan masa paling gemilang bagi
Kesultanan Aceh, walaupun disisi lain kontrol ketat yang dilakukan oleh Iskandar Muda, menyebabkan banyak pemberontakan di kemudian hari setelah mangkatnya Sultan.
Aceh merupakan negeri yang amat kaya dan makmur pada masa kejayaannya. Menurut seorang penjelajah asal
Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh di zaman
Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam, kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat
Minangkabau. Kekuasaan Aceh pula meliputi hingga Perak.
Ketika Iskandar Muda mulai berkuasa pada tahun
1607, ia segera melakukan ekspedisi angkatan laut yang menyebabkan ia mendapatkan kontrol yang efektif di daerah
barat laut Indonesia.
Kontrol di dalam negeri Menurut tradisi Aceh, Iskandar Muda membagi wilayah Aceh ke dalam wilayah administrasi yang dinamakan
ulèëbalang dan
mukim; ini dipertegas oleh laporan seorang penjelajah Perancis bernama Beauliu, bahwa "
Iskandar Muda membabat habis hampir semua bangsawan lama dan menciptakan bangsawan baru."
Mukim Hubungan dengan bangsa asing Inggris Pada
abad ke-16, Ratu
Inggris,
Elizabeth I, mengirimkan utusannya bernama
Sir James Lancester kepada Kerajaan Aceh dan mengirim surat yang ditujukan: "
Kepada Saudara Hamba, Raja Aceh Darussalam." serta seperangkat perhiasan yang tinggi nilainya. Sultan Aceh kala itu menerima maksud baik "saudarinya" di Inggris dan mengizinkan Inggris untuk berlabuh dan berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan Sultan juga mengirim hadiah-hadiah yang berharga termasuk sepasang gelang dari batu rubi dan surat yang ditulis di atas kertas yang halus dengan tinta emas. Sir James pun dianugerahi gelar "Orang Kaya Putih".
Sultan Aceh pun membalas surat dari Ratu Elizabeth I. Berikut cuplikan isi surat Sultan Aceh, yang masih disimpan oleh pemerintah kerajaan Inggris, tertanggal tahun 1585:
I am the mighty ruler of the Regions below the wind, who holds sway over the land of Aceh and over the land of Sumatra and over all the lands tributary to Aceh, which stretch from the sunrise to the sunset.
(Hambalah sang penguasa perkasa Negeri-negeri di bawah angin, yang terhimpun di atas tanah Aceh dan atas tanah
Sumatra dan atas seluruh wilayah wilayah yang tunduk kepada Aceh, yang terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari terbenam).
Hubungan yang mesra antara Aceh dan Inggris dilanjutkan pada masa Raja
James I dari Inggris dan Skotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah untuk Sultan Aceh. Meriam tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal dengan nama Meriam Raja James.
Belanda Selain Kerajaan Inggris, Pangeran
Maurits – pendiri
dinasti Oranje– juga pernah mengirim surat dengan maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan menyambut maksud baik mereka dengan mengirimkan rombongan utusannya ke
Belanda. Rombongan tersebut dipimpin oleh
Tuanku Abdul Hamid.
Rombongan inilah yang dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang singgah di Belanda. Dalam kunjungannya Tuanku Abdul Hamid sakit dan akhirnya meninggal dunia. Beliau dimakamkan secara besar-besaran di Belanda dengan dihadiri oleh para pembesar-pembesar Belanda. Namun karena orang Belanda belum pernah memakamkan orang Islam, maka beliau dimakamkan dengan cara agama
Nasrani di pekarangan sebuah gereja. Kini di makam beliau terdapat sebuah prasasti yang diresmikan oleh Mendiang Yang Mulia
Pangeran Bernhard suami mendiang
Ratu Juliana dan Ayahanda Yang Mulia
Ratu Beatrix.
Utsmaniyah Turki Pada masa Iskandar Muda, Kerajaan Aceh mengirim utusannya untuk menghadap Sultan
Utsmaniyah yang berkedudukan di
Konstantinopel. Karena saat itu Sultan Utsmaniyah sedang gering maka utusan Kerajaan Aceh terluntang-lantung demikian lamanya sehingga mereka harus menjual sedikit demi sedikit hadiah persembahan untuk kelangsungan hidup mereka. Lalu pada akhirnya ketika mereka diterima oleh sang Sultan, persembahan mereka hanya tinggal Lada Sicupak atau Lada sekarung. Namun sang Sultan menyambut baik hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan beberapa orang yang cakap dalam ilmu perang untuk membantu kerajaan Aceh. Meriam tersebut pula masih ada hingga kini dikenal dengan nama Meriam Lada Sicupak. Pada masa selanjutnya Sultan Ottoman mengirimkan sebuah bintang jasa kepada Sultan Aceh.
Perancis Kerajaan Aceh juga menerima kunjungan utusan Kerajaan Perancis. Utusan Raja Perancis tersebut semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang sangat berharga bagi Sultan Aceh. Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhirnya mereka mempersembahkan serpihan cermin tersebut sebagai hadiah bagi sang Sultan. Dalam bukunya, Denys Lombard mengatakan bahwa Sultan Iskandar Muda amat menggemari benda-benda berharga.
Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan satu-satunya kerajaan Melayu yang memiliki Balee Ceureumeen atau Aula Kaca di dalam Istananya. Menurut Utusan Perancis tersebut, Istana Kesultanan Aceh luasnya tak kurang dari dua kilometer. Istana tersebut bernama Istana Dalam Darud Donya (kini Meuligo Aceh, kediaman Gubernur). Di dalamnya meliputi Medan Khayali dan Medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan Iskandar Muda juga memerintahkan untuk memindahkan aliran
Sungai Krueng Aceh hingga mengaliri istananya (sungai ini hingga sekarang masih dapat dilihat, mengalir tenang di sekitar Meuligoe). Di sanalah sultan acap kali berenang sambil menjamu tetamu-tetamunya.
Catatan kaki Komunitas Muslim yang dapat mengerahkan 40 orang laki-laki, jumlah minimum yang diperlukan untuk melakukan Shalat Jum'at menurut fikih Mazhab Syafi'i. Bacaan lanjutan LOMBARD, Denys.
Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636).
Jakarta: Kepustakan Populer Gramedia,
2006.
ulasan di ruangbaca.com ulasan di pdat.co.id REID, Anthony.
Asal Usul Konflik Aceh: Dari Perebutan Pantai Timur Sumatra hingga Akhir Kerajaan Aceh Abad ke-19.
Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia,
2005.
ISBN 979-461-534-X